Hukum Hukum, Kesesatan & Hizbi, Manhaj Ahlus Sunnah

ABNORMALNYA Syaikh Ubaid Al-Jabiri Dan Idiotnya Ustadz Dzulqarnain Makasar

ABNORMALNYA UBAID AL-JABIRI

DAN IDIOTNYA DZUL-QARNAIN

Alhamdulillah, kita menampilkan sepenggal tulisan dari Akhunaa Abu Zakariya Irham Al-Jawi, untuk lebih lengkapnya silahkan lihat di HUKUM TV DIKAUM MUSLIMIN Abu Zakariyya Irham bin Ahmad A Jawy

Dari membaca sepenggal tulisan ini, nyatalah bagi kita bahwa kelompok sempalan yang digelari oleh Asy-syaikh Yahya Al-Hajury sebagai HIZBIYYUN KHOBITS  yang di Indonesia ketuanya adalah luqman ba abduh, dan dibebeki oleh Muhammad Umar As-Sewed, Dzul Akmal, Dzul Qarnain, Askary, Usamah Faisal mahri, Abdurrahman Lombok, Muhammad sarbini, Abdul Barr, dan semua yang bersama mereka benar-benar AHLUL BID’AH, semoga Allah melindungi kita dari KEJAHATAN DAN KEBODOHAN mereka. Amin

Tafadhol untuk membaca 

MEROBOHKAN SYUBHAT YANG LEMAH

DARI ORANG-ORANG YANG MEMBOLEHKAN TV MASUK RUMAH

Setelah kita lewati penjelasan tentang hukum TV dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang shohih dan fatwa-fatwa ulama yang terpercaya, tibalah saatnya untuk mengomentari fatwa tentang bolehnya membeli TV yang dikeluarkan oleh Ubaid Al Jabiri dan disetujui oleh da’i muqollid Dzul Qornain. Fatwa batil yang telah menjerumuskan banyak keluarga salafy ke dalam kemaksiatan.

Berikut ini nukilan perkataan Dzul Qornain sebagaimana yang kami dengar dari rekaman ceramahnya:

“Diantara suatu hal yang sangat indah, pernah suatu hari Guru kami, salah seorang ulama besar di kota Madinah namanya Syaikh Ubaid Al-Jabiriy. Beliau ditanya tentang sebuah keluarga. Keluarga ini ayah dan ibunya masya Alloh –multazim-, tetapi anak-anaknya, karena bergaul dengan tetangga -tetangganya semua punya TV dan parabola-, akhirnya anak-anaknya sering hilang dari rumah, nongkrong di rumah tetangganya. Maka muncul pertanyaan kepada Syaikh:

“Apakah boleh orang ini memasukkan TV ke rumahnya agar supaya anak-anaknya ini tidak keluyuran sana-sini, sehingga acara TV dia kontrol untuk memperkecil kejelekan.”

Maka Syaikh memperbolehkan hal tersebut untuk memperkecil kejelekan. Hal ini adalah hal yang baik, bentuk dari bijaksana dalam bersikap, tetapi kalau seseorang mampu untuk lepas dari kejelekan seluruhnya, tentunya ini yang didahulukan.”

Jawab:

Hendaknya sebelum menerapkan kaedah, seseorang memahani dahulu dengan benar kaedah tersebut beserta syarat-syaratnya sehingga tidak keliru dalam menerapkan.

Selain itusangat penting untuk diketahui bahwa suatu kaedah bukanlah dalil yang dengannya dibangun suatu hukum. Akan tetapi kaedah itulah yang membutuhkan dalil. Jadi, apabila suatu kaedah telah diketahui kebenarannya dan disepakati ulama, tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil-dalil syar’i. Kapan saja terjadi pertentangan antara keduanya, berarti di sana pasti ada kesalahan baik dari sisi keabsahan kaedah atau kekeliruan dalam penerapannya.

Agar kita bisa mengetahui dengan gamblang kesalahan fatal dari fatwa di atas, mari sejenak kita pahami kaedah taqlilusy-syarr (memperkecil kejelekan) yang dijadikan dasar da’i Dzul Qornain dan guru besarnya.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya Nabi telah mensyariatkan kepada umatnya kewajiban untuk mengingkari kemungkaran agar dihasilkan dengan pengingkaran itu kebaikan yang dicintai oleh Alloh dan Rosul-Nya. Apabila pengingkaran terhadap suatu kemungkaran akan melahirkan kemungkaran lebih besar dan lebih dimurkai Alloh dan Rosul-Nya, maka yang seperti ini tidaklah diperbolehkan, walaupun Alloh membenci kemungkaran tersebut serta memurkai pelakunya.”

Beliau berkata lagi: “Ingkarul mungkar itu ada empat tingkatan: pertama, menghilangkan kemungkaran dan menggantinya dengan kebalikannya. Kedua, memperkecil kemungkaran yang ada walaupun tidak bisa menghilangkannya secara keseluruhan. Ketiga, mengganti kemungkaran dengan kemungkaran semisalnya. Keempat, mengganti kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih besar.

Adapun tingkatan pertama dan kedua adalah bentuk pengingkaran yang disyariatkan. Tingkatan ketiga kembali kepada ijtihad seseorang. Sedangkan tingkatan keempat hukumnya haram.” (I’lamul Muwaqqi’in: 3/ 6 – 8)

Pokok pembahasan kita adalah tingkatan yang kedua yaitu usaha untuk memperkecil kemungkaran dan kejelekan ketika tidak ada kemampuan untuk menghilangkannya.

Agar lebih mudah dalam memahami kaidah ini, berikut ini contoh-contoh penerapan kaedah secara benar yang disebutkan oleh para ulama:

Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam berkeinginan untuk mengembalikan Ka’bah ke tempat yang dibangun oleh Ibrohim, tetapi keinginan tersebut tidak dilakukan beliau karena akan menimbulkan mafsadah yang besar. Akhirnya beliau membiarkan Ka’bah sebagaimana adanya sebagai bentuktaqlilusy-syarr (memperkecil kejelekan)

Syaikh Ibnu Baz t berkata:

“Merupakan kaedah syar’i yang telah disepakati:

«أنه لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه, بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه»

Tidak boleh menghilangkan suatu kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih besar, bahkan wajib untuk mencegah dan menolak kemungkaran dengan sesuatu yang akan menghilangkannya atau meringankannya.

Adapun menolak kejelekan dengan kejelekan yang lebih besar tidaklah boleh berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Apabila kelompok yang ingin menghilangkan kepala negara yang melakukan perbuatan kekafiran secara jelas memiliki kemampuan untuk menghilangkannya dan mampu untuk menempatkan pengganti yang sholeh dan baik tanpa mengakibatkan kerusakan yang besar pada kaum muslimin dan tidak menimbulkan kejelekan yang lebih besar dari kejelekan penguasa (yang kafir itu), maka tidak apa-apa (untuk menggulingkannya). Adapun jika penggulingan kekuasaan tersebut mengakibatkan kerusakan yang besar, hilangnya keamanan, pendzoliman terhadap manusia dan pembunuhan gelap orang-orang yang tidak pantas untuk dibunuh…serta kerusakan-kerusakan besar lainnya, maka yang seperti ini tidaklah boleh. Bahkan wajib (bagi rakyat) untuk bersabar, mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf, menasehati para penguasa dan mendakwahi mereka dengan baik serta bersungguh-sungguh dalam usaha memperingan dan memperkecil kejelekan, serta usaha memperbanyak kebaikan. Inilah jalan yang wajib untuk ditempuh karena padanya terdapat kebaikan yang mencakup kaum muslimin pada umumnya. Dengannya diperkecil kejelekan dan diperbanyak kebaikan. Padanya juga terdapat penjagaan keamanan dan keselamatan kaum muslimin dari kejelekan yang lebih besar . (Majmu’ Fatawa Ibni Baz: 8/ 384)

Pada peristiwa perang teluk, para ulama menfatwakan bolehnya mempergunakan kekuatan orang kuffar untuk memperkecil kerusakan yang ditimbulkan Irak, padahal keduanya ada mafsadahnya. Akan tetapi kerusakan yang akan ditimbulkan Iraq lebih dahsyat. Selain itu, menggunakan bantuan kuffar adalah perkara yang diperbolehkan selama hal tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Setelah  dipahami penjelasan di atas beserta contoh-contoh yang disebutkan oleh ulama, ketahuilah bahwa fatwa ‘bijaksana’ Ubaid Al-Jabiri yang disetujui da’i Dzul Qornain adalah fatwa yang batil dan mungkar dari berbagai sisi sebagai berikut:

Kelemahan dalam mengingkari kemungkaran.

Seseorang dalam mengingkari kemungkaran tidaklah boleh berpindah pada tingkatan kedua, kecuali jika tidak bisa melakukan tingkatan yang pertama.

Oleh karena itu sudah sewajibnya bagi ‘Ubaid dan Dzul Qornain untuk menunjukkan jalan pertama sebelum berpindah pada tingkatan yang lebih rendah. Sebab keumuman orang tua mempunyai kemampuan untuk mencegah anak-anaknya. Bahkan syariat telah mengijinkan untuk memukul si anak bila mereka meninggalkan perintah atau melanggar larangan. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

«مُرُوا أوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أبْنَاءُ سَبْعِ سِنينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا ، وَهُمْ أبْنَاءُ عَشْرٍ ».

“Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk sholat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (jika meninggalkannya) pada umur sepuluh tahun.” (HR. Abu Dawud dari Abdulloh bin ‘Amr bin ‘Ash disahihkan oleh Syaikh Al-Albani di Al-Irwa’ no: 247)

Demikian pula dalam kasus Ubaid ini, orang tua hendaknya memberi nasehat dengan sekuat tenaga agar anak-anak tahu hukum TV dan kerusakan-kerusakan yang ada disertai dengan do’a semoga Alloh memberikan hidayah kepada mereka. Inilah yang diperintahkan Alloh kepada orang tua. Bukanlah tanggung jawab mereka jika anak-anaknya membandel dan tidak menerima nasehat, atau masih tetap saja menonton di tempat teman-temannya. Sebab hidayah itu hanyalah dari Alloh. Tidak pula menghalangi orang tua untuk mengingkari kemungkaran yang dilakukan anak-anak, umur mereka yang telah besar atau banyaknya perkara-perkara yang menghalangi diterimanya nasehat.

Ketahuilah -semoga Alloh memperbaiki keadaan kita semua- bahwa inilah hakekat ujian yang karenanya Alloh sebut anak-anak itu sebagai ‘fitnah’. Jika para orang tua telah melakukan apa-apa yang Alloh perintahkan ini, dengan mendidik mereka agama, menerangkan mana yang diperintahkan Alloh dan mana yang dilarang Nya, gugurlah kewajiban dari mereka. Tidaklah tersisa kecuali tawakkal kepadaNya dan memohon agar Alloh memperbaiki keadaan anak-anaknya.

1- Ketidak pahaman mereka tentang kaedah ‘taqlilusy syarr’ sehingga salah dalam penerapannya.

Ketika seseorang berusaha untuk memperkecil kejelekan, tidaklah diperbolehkan baginya dengan alasan ini menjatuhkan diri dalam kemaksiatan. Bagaimana bisa masuk di akal, seseorang ingin mengingkari kemungkaran yang dilakukan orang lain dengan mengorbankan dirinya. Bukankah jika demikian, lebih baik baginya untuk diam dan sekedar mengingkarinya dalam hati yang ini merupakan selemah-lemah iman?! Sebab, Alloh U tidaklah membebani seseorang untuk berbuat kemaksiatan demi kebaikan orang lain. Rosululloh Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

« مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ   أَضْعَفُ الإِيمَانِ ».

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan dan apabila tidak sanggup, maka ubahlah dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim: 219)

Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Dalam ayat ini Alloh subhanahu wa ta’ala memerintahkan seseorang untuk menjaga dirinya terlebih dahulu dari api neraka, baru kemudian menyebutkan setelahnya keluarga. Alloh juga telah berfirman:

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqoroh: 195)

Imam Asy-Syafi’iy rahimahulloh mengatakan:

«رضى الناس غاية لا تدرك, فعليك بما فيه صلاح نفسك فالزمه»

“Keridhoan manusia adalah keinginan yang tidak akan pernah tercapai. Hendaknya kamu memperhatikan perkara-perkara yang mengantarkan kepada kebaikan dirimu kemudian peganglah erat-erat.” (Madarijussalikin: 2 / 301)

Syaikh Muqbil rahimahulloh mengatakan:

«فنحن مأمورون بالاستقامة، وألا نرتكب المعاصي من أجل إصلاح غيرنا»

“Kita diperintahkan untuk istiqomah dan diperintahkan untuk tidak melakukan kemungkaran demi memperbaiki orang lain”.

Mengada-adakan kaidah baru yang belum pernah dikenal sebelumnya.

Apabila yang dimaksud ‘Ubaid dan Dzul Qornain dengan taqlilusy-syar adalah kaedah:

« إذا تزاحم المفاسد يرتكب الأدنى«

‘Jika terkumpul banyak kerusakan, maka dipilih yang paling rendah kerusakannya’, sesungguhnya kaedah ini dipakai ketika ada kerusakan-kerusakan yang seseorang tidak bisa menghindari kerusakan tersebut secara keseluruhan. Sehingga dengan terpaksa (darurat) harus memilih kerusakan yang paling ringan. Sedangkan kasus ‘Ubaid tidaklah demikian, sebab kerusakan yang ada hanya pada satu pihak, yaitu keluyurannya anak-anak untuk nonton TV dan nongkrong di tempat tetangga.

Sesungguhnya yang wajib adalah menghilangkan atau memperkecil kerusakan dengan jalan yang syar’i. Bukan malah mendatangkan kerusakan baru yang belum ada sebelumnya. Kalau mengikuti fatwa‘bijaksana’ Ubaid ini, maka kaedahnya akan menjadi seperti ini:

Jika ada suatu kerusakan, maka buatlah kerusakan yang menurutmu lebih kecil tingkat kerusakannya.”

Kaedah yang seperti ini belum pernah didengar dan didapati dalam kitab-kitab ushul kecuali dari Ubaid dan muqollidnya Dzul Qornain .

Kesalahan dalam menentukan kemungkaran mana yang lebih besar.

Taruhlah Ubaid dan muqollidnya da’i Dzul Qornain benar dalam menerapkan kaedah, tinggal sekarang dilihat apakah kejelekan yang didatangkan oleh si ibu dengan membeli TV itu lebih kecil atau lebih besar dari kerusakan sebelumnya???

Kerusakan yang kembali kepada orang tua.

Dengan membeli TV berarti si ibu telah melakukan perbuatan yang dilarang syariat.

Dengan membeli TV, berarti dia telah memasukkan ke rumahnya kemungkaran yang dampaknya merata ke seluruh penghuni rumah, yang paling minimnya adalah tidak masuknya malaikat ke dalam rumah karena adanya shuroh di dalamnya. Padahal sebelumnya kemungkaran hanya terbatas pada anak-anak dan terjadi di luar rumah.

Dengan membeli TV, berarti dia telah menjadi penyebab terjadinya kemungkaran yang akan dilakukan anak-anak dengan menonton TV yang dibelinya itu. Dengan ini orang tua akan mendapatkan bagian dari dosa-dosa mereka sebagaimana kaedah:

«المتسبب كالمباشر»

“Penyebab itu hukumnya seperti orang yang melakukannya secara langsung”, padahal jika dia tidak membeli TV tidak akan terkena yang seperti ini.

Sebagaimana dijelaskan dalam perkataan Dzul Qornain bahwa si orang tua akan mengontrol. Hal ini berarti bahwa orang tua tidak boleh tidak, juga harus melihat acara yang ada di TV.

Walaupun orang tua ‘multazim’ sebagaimana yang dikatakan Dzul Qornain, dia bukanlah orang yangma’shum yang terjaga dari hawa nafsu dan kesalahan. Ditambah dengan kondisi TV yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaniy: “Alat yang paling dahsyat fitnahnya.” Akankah dengan semua ini si ibu itu merasa aman akan dirinya?!

Seseorang akan ditanya akan hartanya, untuk apa dia belanjakan. Demikian pula tentang amanah yang diberikan kepadanya yang berupa anak-anak. Bukankah lebih selamat bagi orang tua untuk menjawab:

“Ya Alloh, saya telah berusaha menasehati mereka dan menjelaskan kepada mereka tentang haramnya TV, tetapi mereka tetap melanggarnya dan terus menerus melakukannya.”

Daripada jawaban orang yang mengikuti fatwa Ubaid:

“Ya Alloh, harta yang Engkau rizqikan kepadaku, aku belikan TV yang telah Engkau haramkan, agar anak-anakku bisa nonton di rumah daripada mereka nonton di tempat tetangga. Sehingga karenanya akupun ikut menonton TV agar bisa mengontrol anak-anakku itu, padahal menonton TV itu haram menurut-Mu”

Renungkanlah!! Sebelum datang hari-hari yang tidak bermanfaat lagi tangis dan penyesalan!!

Kerusakan yang kembali kepada anak.

Dibelikannya TV akan mengakibatkan lemahnya keyakinan bahwa TV dan shuroh itu haram. Bahkan mungkin mereka akan meyakininya bahwa perkara itu boleh. Sebab, sekarang mereka akan menonton TV dengan legal dan ijin dari orang tua tanpa ada perasaan resah dan bersalah. Berbeda ketika mereka dilarang untuk menonton TV di tetangga tanpa dibelikan TV. Walaupun mungkin mereka tidak taati nasehat sang ibu dan tetap melanggar, minimal sekali mereka tahu bahwa perbuatan itu tidak diridhoi oleh Alloh dan orang tua mereka, sehingga mereka akan sembunyi-sembunyi serta malu jika diketahui oleh orang tua.

Orang yang mau mencermati poin ini, akan mendapatkan bahwa ini adalah sebuah kerusakan yang sangat besar, karena berhubungan dengan ‘aqidah si anak tentang suatu perkara apakah halal atau haram, apakah dosa atau biasa.

Adanya TV di rumah memungkinkan anak-anak untuk menonton TV lebih banyak. Sebab benda tersebut ada di dekat mereka dan di dalam rumah mereka, tanpa harus malu-malu ijin tetangga.

Kesimpulan:

Berdasarkan uraian di atas, semua orang yang masih berakal sehat tidak akan ragu sedikitpun bahwa membeli TV agar anak-anak menonton di rumah lebih besar kerusakan dan kemungkarannya, baik bagi orang tua sendiri atau anak-anaknya. Dengan ini pula diketahui kedangkalan pemahaman Ubaid dan pendeknya pandangan muqollidnya, Dzul Qornain.

Adapun Ubaid tidaklah mengherankan kami, karena memang dia bukanlah orang yang pantas untuk berfatwa. Telah banyak fatwa-fatwa batil yang dikeluarkannya, sehingga wajib bagi kaum muslimin untuk menjauhinya serta memperingatkan umat dari kesalahan-kesalahannya. Diantara kesalahan-kesalahan fatalnya adalah:

  • Fatwa tentang bolehnya pemilu.
  • Fatwa tentang bolehnya mengikuti pelajaran seni musik yang diwajibkan oleh sekolah dengan alasan ‘darurat’
  • Fatwa tentang bolehnya kerja di tempat yang ikhtilath, dengan alasan bahwa pekerjaan itu asalnya untuk laki-laki. Adapun para wanita yang kerja di situ, merekalah yang seharusnya keluar dari pekerjaan.
  • Fatwa tentang bolehnya menghilangkan sihir dengan sihir yang lain.
  • Fatwa yang menyatakan bahwa Birmingham adalah tempat untuk berhijrah, padahal kota ini berada di jantung negeri kafir.
  • Celaannya terhadap Imam Syu’bah bahwa dia itu berlebih-lebihan dalam men-jarh, padahal para ulama baik yang dulu maupun sekarang sepakat tentang keimamannya dalam hadits.
  • Tahdzirannya terhadap Darul Hadits di Dammaj serta celaannya terhadap Syaikh Yahya s tanpa dalil.
  • Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah kenapa si Dzul Qornain menerima mentah-mentah fatwa yang seorang pelajar pemulapun mengetahui kebatilannya??!
  • Menyelisihi kaidah “Unsur darurat itu diberlakukan sesuai kadarnya”.

Dalam fatwa batil tersebut, si Ubaid demikian pula muqollidnya sama sekali tidak menyinggung sampai kapan TV itu boleh di rumah dan kapan harus dikeluarkan. Padahal sesuatu yang diharamkan oleh syariat tidaklah boleh dilanggar kecuali dalam keadaan darurat sebagaimana kaedah:

«الضرورة تبيح المحظورة»

“Keadaan darurat itu membolehkan (seseorang) untuk melakukan perbuatan yang dilarang.”

Keadaan darurat dalam kaedah ini mempunyai kadar (batas akhir) yang apabila telah terpenuhi kadar tersebut, tidaklah boleh bagi seseorang untuk melanggar perkara yang diharamkan.

Adapun fatwa si Ubaid tidaklah demikian, TV yang dibeli si Ibu itu boleh terus menerus ditonton dan terus menerus di dalam rumah, walaupun kejelekan yang semula ingin diperkecil tetap ada dan kejelekan yang timbul dari pembelian TV semakin besar.

Dua pilihan untuk Ubaid dan muqollidnya

Kesalahan fatal si Ubaid dan kecerobohan Dzul Qornain akan semakin jelas jika kita berikan kepadanya kasus sebagai berikut:

Seorang ibu punya anak yang suka minum khomr di bar dan tempat-tempat diskotik. Apakah boleh bagi si ibu ini untuk membelikan khomr agar si anak meminumnya di rumah dan tidak perlu pergi ke tempat-tempat maksiat itu, sebagai bentuk pengamalan kaedah taqlilusy-syarr?

Untuk menjawab kasus ini, si Ubaid hanya punya  dua kemungkinan:

Pertama, dia tidak membolehkan si ibu untuk membeli khomr tersebut. Dengan ini berarti si Ubaid tidak konsekuen dengan kaedahnya, yang semua ini menunjukkan bahwa fatwa bolehnya membeli TV sebagai bentuk taqlilusy-syarr adalah fatwa batil dan mungkar yang tidak boleh seorang muslim pun mengikutinya.

Kedua, dia membolehkan si ibu untuk membeli khomr sebagai bentuk pengamalan kaedah taqlilusy-syarr(model Ubaid). Dengan ini kita semakin yakin bahwa Ubaid memang tidak pantas untuk berfatwa. Tidak akan menyetujui fatwa ini kecuali orang yang telah hilang akalnya.

Saya kira kelima point ini cukup untuk membuktikan kemungkaran fatwa Ubaid. Oleh karena itu, wajib bagi Ubaid dan Dzul Qornain untuk segera bertaubat dari fatwa yang menyesatkan ini. Ingatlah bahwa kalian akan dimintai pertanggung-jawaban atas fatwa yang menjerumuskan banyak manusia dalam kemaksiatan ini.

Imam Asy-Syafi’i rahimahulloh mengatakan:

«فالواجبُ على العَالِمين أن لا يقولوا إلا من حيث علموا، وقد تكلَّم في العلم من لو أمسكَ عن بعضِ ما تكلم فيه منه لكان الإمساكُ أولى به، وأقْرَبَ من السلامة له إن شاء الله».

“Wajib bagi orang-orang yang berilmu untuk tidak berbicara kecuali perkara-perkara yang diketahuinya. Sungguh telah berbicara orang-orang tentang ilmu yang kalau seandainya dia mau mengekangnya dari berbicara tentangnya, maka hal itu lebih utama dan lebih dekat dengan keselamatan. Insya Alloh.” (Ar-Risalah no. 131-132)

Alloh subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

لِيَحْمِلُواْ أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُم بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلاَ سَاء مَا يَزِرُونَ

“Mereka akan memikul dosa-dosa mereka sendiri dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (QS. An-Nahl: 25)

Demikian pula wajib bagi seluruh muslim yang tertipu dengan fatwa itu untuk segera bertaubat dan melepaskan diri darinya serta meninggalkan sifat taqlid.

Ibnul Qoyyim rahimahulloh mengatakan: “Diantara perkara yang hendaknya diketahui: bahwa dosa dan kemaksiatan itu membawa akibat buruk yang pasti adanya, dan akibat tersebut menyerang hati, seperti racun yang menyerang badan….Tidaklah ada kejelekan dan penyakit  di dunia ini dan di akhirat kecuali disebabkan oleh dosa-dosa dan kemaksiatan. (Ad Daa’ wad Dawaa’: 53)

Kebenaran itu bersama dalil! Alloh telah berfirman:

اتَّبِعُواْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء قَلِيلاً مَّا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya [yang membawamu kepada kesesatan]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya). (Al-A’raaf: 3)

Ingatlah bahwa orang-orang yang kalian ikuti itu tidak akan memberikan manfaat sedikit pun ketika kalian berdiri di hadapan Alloh untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan kalian. 

 اذ تبرا الذين اتبعوا من الذين اتبعوا وراوا العذاب وتقطعت بهم الاسباب

و قال الذين اتبعوا لو ان لنا كرة فنتبرا منهم كما تبرءوا منا كذلك يريهم الله اعمالهم حسرات عليهم وما هم بخارجين من النار

“Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), past)i kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (QS. Al-Baqoroh: 166-167

ASH-HABUL HADITS

1 thought on “ABNORMALNYA Syaikh Ubaid Al-Jabiri Dan Idiotnya Ustadz Dzulqarnain Makasar”

Tinggalkan Balasan Ash Habul Hadits