Hukum Hukum

Hukum-Hukum Penyelenggaraan Jenazah dalam Islam (Bagian Pertama)

Hukum-Hukum Penyelenggaraan Jenazah

بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله، نحمده ونستعينه، ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد، فان أصدق الحديث كتاب الله، وأحسن الهدي هدي محمد، وشر الامور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار

Alloh ‘azza wa jalla berfirman:

تبارك الذي بيده الملك وهو على كل شيء قدير * الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز الغفور

“Telah banyak kebaikan dan kenikmatan Alloh atas seluruh makhluk-Nya, yang di tangan-Nyalah kekuasaan dunia dan akhirat. Perintah dan hukumnya berlaku pada keduanya dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan kematian dan kehidupan ini untuk menguji kalian -wahai manusia-, siapa di antara kalian yang paling bagus dan ikhlas amalannya. Dia adalah Al-‘Aziz, maha perkasa yang tidak terkalahkan oleh siapapun lagi Al-Ghofur, maha pengampun bagi siapa yang bertaubat dari hamba-hamba-Nya.” (Tafsir QS. Al-Mulk: 1-2)

كل نفس ذائقة الموت ونبلوكم بالشر والخير فتنة وإلينا ترجعون

“Setiap jiwa itu pasti akan merasakan kematian, selama apapun ia hidup di dunia. Tidaklah keberadaannya dalam kehidupan ini, melainkan untuk diuji dengan beban syariat berupa perintah dan larangan dengan berbolak-baliknya keadaan antara kebaikan dan kejelekan. Kemudian tempat kembalinya nanti setelah itu adalah kepada Alloh semata untuk dihitung amalannya dan dibalasi dengan balasan yang setimpal.” (Tafsir QS. Al-Anbiya’: 35)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما لي وللدنيا؟ ما أنا في الدنيا إلا كراكب استظل تحت شجرة، ثم راح وتركها

“Apa urusanku dengan dunia?! Tidaklah keadaanku di dunia ini, melainkan seperti pengendara yang berteduh sejenak di bawah sebuah pohon, lalu pergi dan meninggalkannya.” (HR. Ahmad dan selainnya dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy rohimahulloh dalam Ash-Shohihah, no. 438)

Para pembaca rohimakumulloh, petunjuk Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam penyelenggaraan jenazah itu merupakan sebaik-baik petunjuk, berbeda dengan selainnya dari umat manusia. Petunjuk tersebut mencakup perlakuan baik bagi si mayit berupa hal-hal yang bermanfaat baginya di kuburan serta hari kebangkitannya, juga perlakuan yang baik pula bagi keluarga dan kerabat yang ditinggalkannya. Diantara petunjuk beliau dalam hal itu adalah penegakan ‘ubudiyah (penghambaan) terhadap Robb tabaroka wa ta’ala dengan sebaik-baik keadaan dan perlakuan baik terhadap si mayit dengan mempersiapkannya untuk menuju Alloh ta’ala dengan seutama-utama keadaan.

Mengingat bahwa keadaan kebanyakan kaum muslimin jaman sekarang yang jauh sekali dari petunjuk Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam hal peribadatan, diantaranya adalah masalah pengurusan jenazah, yang hal ini disebabkan banyak dari mereka yang meninggalkan untuk mempelajari ilmu agama, terutama ilmu hadits dan sunnah. Sebaliknya mereka tekun dalam mendalami ilmu-ilmu keduniaan dan berbagai pekerjaan guna mengumpulkan harta untuk kehidupan dunia mereka. Maka perlu di sini untuk disampaikan risalah sederhana tentang hukum-hukum atau tata cara pengurusan jenazah yang sesuai dengan sunnah dan terhindarkan dari kebid’ahan dan kemaksiatan dengan mengambil faedah dari karya-karya para ulama sunnah yang telah diakui keilmuannya. Sehingga diharapkan kaum muslimin dapat melakukan apa yang sifatnya wajib atas mereka terhadap kerabat dan saudaranya di atas ilmu dan bashiroh.

Risalah ini dimulai dengan pembahasan masalah talqin terhadap seseorang menjelang kematiannya dan apa yang dilakukan bagi yang hadir ketika itu beserta para kerabatnya, wabillahit-taufiq.

Talqin Seseorang Menjelang Kematiannya

Ketika kematian datang menjelang kepada seseorang, maka disunnahkan bagi yang hadir di sisinya ketika itu untuk melakukan beberapa amalan berikut ini:

Pertama: Mentalqin atau menuntunnya untuk mengucapkan kalimat syahadat. Hal ini merupakan perintah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits beliau:

لقنوا موتا كم لا إله إلا الله ، من كان آخر كلامه لا إله إلا الله عند الموت دخل الجنة يوما من الدهر، وإن أصابه قبل ذلك ما أصابه

“Tuntunlah seseorang menjelang kematiannya untuk mengucapkan kalimat: “Laa ilaha illalloh.” Siapa yang akhir ucapannya: “Laa ilaha illalloh” menjelang kematiannya, maka kelak akan masuk jannah, meskipun sebelumnya tertimpa apa yang menimpanya.”

(HR. Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu dengan tambahan riwayat dari Ibnu Hibban, dishohihkan Imam Al-Albaniy dalam Irwa’ul Gholil, no. 679. Juga dari hadits Mu’adz bin Jabal rodhiyallohu ‘anhu, riwayat Ahmad dengan sanad hasan sebagaimana dalam Al-Irwa’, no. 687)

Para ulama telah sepakat akan disyariatkannya talqin tersebut. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan secara terus-menerus agar tidak menyempitkan hati si mayit, sehingga ia akan membencinya dan mengatakan sesuatu yang tidak pantas. Jika telah mengucapkan kalimat syahadat sekali, maka tidak perlu diulangi lagi kecuali ia mengucapkan kalimat lain, sehingga perlu diulang lagi supaya akhir ucapannya adalah kalimat syahadat. (lihat Syarh Shohih Muslim, karya Imam An-Nawawiy)

Perhatian: Bukanlah talqin tersebut dengan menyebut-nyebut kalimat syahadat di depan orang tersebut dan memperdengarkannya, akan tetapi dengan mengingatkan si mayit menjelang kematiannya untuk mengucapkannya atau dengan sindiran atau memintanya untuk mengucapkannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk salah seorang sahabat dari kalangan Anshor sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عاد رجلا من الأنصار، فقال: يا خال! قل: لا إله إلا الله، فقال: أخال أم عم؟ فقال: بل خال، فقال: فخير لي أن أقول: لا إله إلا الله؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: نعم

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk salah seorang dari sahabat Anshor menjelang kematiannya. Maka beliau berkata: “Wahai paman, ucapkanlah: “Laa ilaaha illalloh.” Beliau bertanya: “Apakah paman dari pihak ibu atau bapak? Jawabnya: “Dari pihak ibu.” Maka ia berkata: “Apa lebih baik bagi diriku untuk mengucapkan: “Laa ilaaha illalloh?” Jawab Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Ya.”

(HR. Ahmad, Kata Imam Al-Albaniy rohimahulloh: “Sanadnya shohih sesuai dengan syarat Imam Muslim dan dishohihkan oleh Imam al-Wadi’iy dalam Ash-Shohihul Musnad, no. 37. Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 20 dan Fathul ‘Allam: 2/268)

Kedua: Mendoakannya dan tidak mengatakansesuatu kepadanya melainkan kebaikan. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha, berkata: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا حضرتم المريض أو الميت، فقولوا خيرا، فإن الملائكة يؤمنون على ما تقولون

“Jika kalian menghadiri orang sakit atau menjelang kematiannya, maka hendaklah mengatakan kebaikan. Sesungguhnya malaikat akan mengaminkan apa yang kalian katakan.” (HR. Muslim)

Hukum Menghadiri Seorang Kafir Menjelang Kematiannya

Dibolehkan untuk menghadiri seorang kafir menjelang kematiannya untuk menyerunya ke dalam Islam dengan harapan ia bersedia masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal ini berdasarkan hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata:

كان غلام يهودي يخدم النبي صلى الله عليه وسلم فمرض، فأتاه النبي صلى الله عليه وسلم يعوده، فقعد عند رأسه، فقال له أسلم، فنظر إلى أبيه وهو عنده ، فقال له أطع أبا القاسم صلى الله عليه وسلم فأسلم، فخرج النبي صلى الله عليه وسلم وهو يقول الحمد لله الذي أنقذه من النار، فلما مات، قال صلوا على صاحبكم.

“Ada seorang anak Yahudi pembantu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menderita sakit. Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di sisi kepalanya. Nabi berkata: “Berislamlah!” Maka anak itu melihat kepada ayahnya yang ketika itu berada di sisinya. Sang ayah berkata: “Taatilah Abul Qosim (Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam)!” Maka anak itu masuk Islam. Ketika Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam keluar, beliau bersabda: “Alhamdulillah (segala puji bagi Alloh) yang telah menyelamatkannya dari neraka.” Ketika anak itu telah meninggal, beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sholatilah saudara kalian!” (HR. Bukhori dan selainnya dengan tambahan dari riwayat Ahmad)

Apa yang dilakukan para hadirin setelah ia meninggal dunia?

Setelah ia benar-benar meninggal dunia dengan keluarnya roh dari jasadnya, maka bagi yang hadir di sisi mayit hendaknya melakukan hal-hal sebagai berikut:

Amalan pertama: Memejamkan kedua matanya lalu mendoakannya dengan kebaikan. Hal ini sebagaimana hadits Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha, beliau berkata:

دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم على أبي سلمة، وقد شق بصره، فأغمضه ثم قال: إن الروح إذا قبض تبعه البصر، فضج ناس من أهله فقال: لا تدعوا على أنفسكم إلا بخير، فان الملائكة يؤمنون على ما تقولون، ثم قال: اللهم اغفر لابي سلمة، وارفع درجته في المهديين، واخلفه في عقبه في الغابرين، واغفر لنا وله يا رب العالمين، وافسح له في قبره، ونور له فيه

“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menjenguk jenazah Abu Salamah yang matanya terbuka. Maka beliau memejamkannya dan bersabda: “Sesungguhnya roh itu ketika dicabut, diikuti oleh matanya. Maka seketika itu kerabatnya berteriak menangis. Maka beliau bersabda: “Janganlah kalian berdoa kecuali dengan kebaikan. Sesungguhnya malaikat mengaminkan apa-apa yang kalian katakan.” Kemudian beliau berdoa: “Ya Alloh, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya bersama orang-orang yang telah diberi hidayah, jagalah keluarganya dan orang-orang yang ditinggalkannya, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosanya, wahai Robb semesta alam, lapangkanlah kuburannya dan terangilah dia di dalamnya.” (HR. Muslim dan selainnya)

Hal ini merupakan kesepakatan para ulama dan hikmahnya adalah agar tidak terlihat kurang baik ketika dipandang jika tidak dipejamkan. Demikian juga dibolehkan untuk mengikat kedua rahangnya dengan kain diikatkan ke atas kepala agar mulut si mayit tidak terbuka setelah beberapa lama. (lihat Syarh Shohih Muslim oleh Imam Nawawiy dan Fathul ‘Allam: 2/272)

Perhatian: Tidak ada bacaan dzikir atau doa tertentu yang disyariatkan berdasarkan dalil yang shohih ketika memejamkan kedua mata si mayit. Adapun apa yang diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf dan Al-Baihaqiy dalam Sunan Al-Kubro tentang dzikir ketika memejamkan mata mayit dari Bakr bin Abdillah rohimahulloh, bahwasanya beliau berkata: “Jika engkau memejamkan mata mayit, maka katakanlah: “Bismillah wa ‘ala millati Rosulillah,” maka ini hanyalah ucapan atau pendapat beliau semata tanpa didasari oleh hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Jadi tidak ada dzikir atau bacaan doa yang tsabit dan shohih dalam masalah tersebut. (lihat: Jami’ul Adillah, hal. 84)

Amalan kedua: Menutupi seluruh badan si mayit dengan pakaian atau kain dan ini merupakan kesepakatan ulama, sebagaimana hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين توفي سجي ببرد حبرة

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika meninggal dunia, jasad beliau ditutup dengan pakaian bergaris ala Yaman.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hikmah ditutupnya seluruh badan mayit adalah agar tidak tersingkap tubuh dan aurotnya yang telah berubah setelah meninggalnya. Menutup tubuh mayit tersebut dilakukan setelah dilepasnya pakaian si mayit tersebut agar tubuhnya tidak cepat rusak dikarenakan pakaiannya tersebut. Juga tidak meletakkan mayit di atas tanah, akan tetapi diletakkan di atas papan atau dipan dan sebagainya agar tidak cepat rusak. (lihat Fathul ‘Allam: 2/273)      

Perhatian: Hal ini adalah bagi yang meninggal bukan dalam keadaan muhrim (berihrom). Adapun yang meninggal dunia ketika berpakaian ihrom, maka tidaklah ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه في ثوبين (وفي رواية: في ثوبيه) ولا تحنطوه (وفي رواية: ولا تطيبوه) ، ولا تخمروا رأسه (ولا وجهه) ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

“Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arofah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya dan patah lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata: “Mandikanlah ia dengan air campur sidr (bidara), lalu kafanilah dengan dua potong pakaian (dalam riwayat: dua potong pakaiannya), jangan diberi wewangingan. Jangan ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan nanti dalam keadaan bertalbiyah.” (HR. Bukhori tanpa tambahan riwayat dan Muslim dalam Shohih keduanya, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhroj, Al-Baihaqi dalam Sunannya)

Amalan ketiga: Menyegerakan proses pengurusan jenazah jika telah yakin akan kematiannya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أسرعوا بالجنازة، فإن تك صالحة فخير تقدمونها، وإن يك سوى ذلك، فشر تضعونه عن رقابكم

“Segerakanlah pengurusan jenazah. Jika ia seorang yang sholeh, maka ia adalah kebaikan yang segera kalian kedepankan. Jika selain itu, maka ia adalah kejelekan yang segera kalian lepaskan dari pundak-pundak kalian.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hal-hal yang boleh dilakukan oleh para hadirin terhadap si mayit

Diperbolehkan bagi para hadirin untuk menyingkap wajah si mayit serta menciumnya dan diperbolehkan untuk menangis bersedih hati selama tiga hari, tidak lebih dari itu. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

Hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma, ketika terbunuhnya Abdulloh ayahnya. Beliau berkata: “Ketika ayahku terbunuh, maka aku singkapkan kain penutup wajahnya sambil aku menangis. Orang-orang melarangku untuk itu, sedangkan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak melarangku. Kemudian Nabi memerintahkan agar jenazah ayahku diangkat. Seketika itu bibiku Fathimah mulai menangis. Maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تبكين، أولا تبكين، ما زالت الملائكة تظله بأجنحتها حتى رفعتموه

“Engkau menangis ataupun tidak, senantiasa malaikat memayunginya dengan sayap-sayapnya sampai kalian mengangkatnya.” (HR. Bukhori dengan tambahan riwayat dari Muslim dan Nasa’i)

Hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha, beliau berkata:

أقبل أبو بكر رضي الله عنه على فرسه من مسكنه بالسنح حتى نزل فدخل على المسجد، (وعمر يكلم الناس) فلم يكلم الناس حتى دخل على عائشة رضي الله عنها، فتيمم النبي صلى الله عليه وسلم وهو مسجى ببردة حبرة، فكشف عن وجهه، ثم أكب عليه فقبله (بين عينيه) ، ثم بكى فقال: بأبي أنت وأمي يا نبي الله ، لا يجمع الله عليك موتتين، أما الموتة التي عليك فقد متها، وفي رواية: لقد مت الموتة التي لا تموت بعدها أبدا

“Abu Bakar rodhiyallohu ‘anhu datang dengan menunggang kudanya dari tempat kediamannya di daerah Sunh. Ketika sampai dan turun dari tunggangannya, beliau langsung memasuki masjid Nabi. Ketika itu Umar rodhiyallohu ‘anhu sedang berbicara di depan orang-orang. Sedangkan Abu Bakar tidak berbicara dengan siapapun, tetapi langsung memasuki rumah Aisyah rodhiyallohu ‘anha, bermaksud melihat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang telah ditutup dengan pakaian bergaris dari Yaman. Maka Abu Bakar menyingkap wajah Nabi, lalu dia menelungkup dan mencium beliau (dalam riwayat: mencium antara kedua mata beliau), kemudian menangis dan berkata: “Sungguh -wahai Nabi Alloh- tidaklah Alloh mengumpulkan dua kematian atasmu (maksudnya: mati, lalu hidup lagi di dunia, kemudian mati untuk kedua kalinya). Adapun kematian atas dirimu, maka telah datang (dalam  riwayat: sungguh engkau mengalami kematian yang tidak ada lagi kematian setelahnya selama-lamanya).” (HR. Bukhori dengan tambahan riwayat Ibnu Hibban, dishohihkan Imam Al-Albaniy dalam Shohih Ibnu Hibban, no. 3030)

Hadits Abdulloh bin Ja’far rodhiyallohu ‘anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم أمهل آل جعفر ثلاثا أن يأتيهم ثم أتاهم فقال: لا تبكوا على أخي بعد اليوم

“Bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memberi kesempatan bagi keluarga Ja’far untuk menangis selama tiga hari sebelum beliau mendatangi mereka. Setelah itu beliau mendatangi mereka dan berkata: “Janganlah kalian menangisi saudaraku lagi setelah hari ini!”
(HR. Abu Dawud dan Nasa’iy, Imam Al-Albaniy berkata: Sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim)

Hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata:

  دخلنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم على أبي سيف -وكان ظئرا لإبراهيم- فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم إبراهيم فقبله وشمه. ثم دخلنا عليه بعد ذلك وإبراهيم يجود بنفسه فجعلت عينا رسول الله صلى الله عليه وسلم تذرفان فقال له عبد الرحمن بن عوف: وأنت يا رسول الله؟! فقال: يا ابن عوف، إنها رحمة ثم أتبعها بأخرى فقال: إن العين لتدمع والقلب يحزن ولا نقول إلا ما نرضي ربنا وإنا بفراقك يا إبراهيم لمحزونون

“Kami bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memasuki rumah Abu Saif -suami Khoulah binti Al-Mundzir ibu susuan Ibrohim-, lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengambil Ibrohim lalu menciuminya. Lalu kami masuk rumahnya kembali setelah itu dalam keadaan Ibrohim menghembuskan nafas terakhirnya. Maka kedua mata beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam  mencucurkan air mata. Melihat hal itu, maka Abdurrohman bin ‘Auf berkata: “Wahai Rosululloh, engkau berbuat demikian?!” Beliau menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah rohmah…” Kemudian beliau meneruskannya seraya berkata: “Sungguh mata ini mencucurkan air mata dan hati ini bersedih… Tidaklah kita mengucapkan sesuatu melainkan apa yang membuat ridho Robb kita… Sungguh, kami sangat bersedih dengan kepergianmu, wahai Ibrohim…” (HR. Bukhori dan Muslim)

Perhatian: Yang diperbolehkan dalam mencium mayit di sini adalah seorang-laki-laki mencium mayit laki-laki dan perempuan mencium mayit perempuan. Maka janganlah seorang laki-laki mencium mayit perempuan dan sebaliknya, karena dapat terjadi fitnah di dalamnya serta tidak adanya riwayat yang shohih dari salaf ridhwanullohi ‘alaihim bahwasanya mereka melakukan hal tersebut. (lihat: Jami’ul Adillah, hal. 87)

Perhatian: Mencium mayit bukan dalam rangka tabarruk (mencari berkah), karena ini tidaklah ada dalilnya dan para salaf tidaklah melakukannya dalam rangka hal tersebut. Hal itu dilakukan hanyalah dalam rangka menghormati si mayit. Tabarruk dengan jasad atau atsar hanyalah berlaku bagi Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, karena Alloh ta’ala telah menjadikan jasad beliau berbarokah. Adapun selain beliau, maka tidak diperbolehkan mencium mayit dalam rangka tabarruk, karena hal itu termasuk wasilah yang menghantarkan kepada kesyirikan. (lihat Ta’liq Syaikh Ibni Bazz ‘ala Fathil Bariy, no. hadits 1244 dan Jami’ul Adillah, hal. 88)

Hal-hal yang hendaknya dilakukan oleh kerabat si mayit

Ketika mendengar berita kematian si mayit, maka hendaknya keluarga atau kerabat yang ditinggalkannya untuk:

Pertama: Bersabar dan ridho (menerima) terhadap takdir Alloh yang telah ditentukan. Firman Alloh ta’ala:

ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين * الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون * أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة وأولئك هم المهتدون

“Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta benda dikarenakan sulit untuk mendapatkannya atau lenyapnya harta tersebut. Juga dengan hilangnya jiwa dengan kematian atau mati syahid di jalan Alloh. Demikian juga dengan kekurangan hasil bumi seperti korma, anggur dan biji-bijian dengan sedikitnya panenan atau tertimpa bencana. Berilah kabar gembira -wahai Nabi- kepada orang-orang yang bersabar atas ini semua dan semisalnya dengan hal-hal yang menggembirakan dan menyenangkan mereka berupa akibat yang baik di dunia dan akherat.

Diantara sifat orang-orang yang sabar tersebut adalah jika tertimpa sesuatu yang tidak disukai (musibah), maka ia mengatakan: “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” (Sungguh kita ini adalah hamba milik Alloh, tunduk dengan perintah dan aturan-Nya. Dia berhak untuk memperlakukan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kita akan kembali kepada-Nya dengan melalui kematian. Kemudian kelak akan dibangkitkan untuk dihitung dan dibalasi amalan-amalan kita).

Orang-orang yang bersabar itulah, bagi mereka pujian dan rahmat yang besar dari Robb mereka subhanahu wa ta’ala dan mereka itulah  orang-orang yang mendapatkan petunjuk kepada jalan kebenaran.” (Tafsir QS. Al-Baqoroh: 155-157)

Dalam hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata:

مر رسول الله صلى الله عليه وسلم بامرأة عند قبر وهي تبكي، فقال لها: اتقي الله واصبري، فقالت: إليك عني، فانك لم تصب بمصيبتي! قال: ولم تعرفه! فقيل لها: هو رسول الله صلى الله عليه وسلم! فأخذها مثل الموت، فأتت باب رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم تجد عنده بوابين، فقالت: يا رسول الله إني لم أعرفك. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الصبر عند أول الصدمة

“Suatu ketika, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melewati seorang perempuan yang menangis di sisi sebuah kuburan. Maka beliau berkata kepadanya: “Takutlah kepada Alloh dan bersabarlah!” Perempuan yang belum mengenal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam itu menjawab: “Pergilah dari sisiku, sungguh engkau tidak merasakan musibah yang menimpaku!” Kemudian dikatakan kepadanya: “Dia itu Rosululloh!” Maka perempuan itu terkejut setengah mati dan bergegas mendatangi pintu rumah beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam yang tidak ditemukan adanya para penjaga di depannya. Perempuan itu berkata: “Wahai Rosululloh, sungguh saya belum mengenal Anda…” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kesabaran itu ketika awal tertimpanya musibah.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء، وإن الله إذا أحب قوما ابتلاهم، فمن رضي فله الرضا، ومن سخط فله السخط

“Sungguh besarnya ganjaran itu sesuai dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya jika Alloh ta’ala mencintai suatu kaum, maka Ia akan memberikan cobaan kepada mereka. Maka siapa yang ridho (menerima) terhadap cobaan tersebut, niscaya akan mendapatkan ridho Alloh. Sebaliknya, siapa yang tidak menerimanya, maka ia akan mendapatkan murka Alloh.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah, no. 146)

Kedua: Bagi kerabat yang ditinggalkan hendaknya mengucapkan kalimat istirja’ berdasarkan ayat di atas, yaitu ucapan: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun,” yang maknanya: “Sungguh kita ini adalah hamba milik Alloh, tunduk dengan perintah dan aturan-Nya. Dia berhak untuk memperlakukan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kita akan kembali kepada-Nya dengan melalui kematian. Kemudian kelak akan dibangkitkan untuk dihitung dan dibalasi amalan-amalan kita.”

Juga disertai dengan ucapan doa: “Allohumma ijirnii fii mushibatii wakhluf lii khoiron minhaa,” yang maknanya: “Ya Alloh, berikanlah aku ganjaran lantaran musibahku ini dan gantilah untukku yang lebih baik dari itu semua.” Hal ini sebagaimana hadits Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha, beliau berkata: “Aku mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من مسلم تصبه مصيبة فيقول ما أمره الله: إنا لله وإنا إليه راجعون، اللهم أجرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها إلا أخلف الله له خيرا منها

“Siapapun seorang muslim yang tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan apa yang diperintahkan Alloh kepadanya: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun, Allohumma ijirnii fii mushibatii wakhluf lii khoiron minhaa,” niscaya Alloh akan menggantinya dengan yang lebih baik dari itu semua.”

Ummu Salamah berkata: “Ketika Abu Salamah (suaminya) meninggal dunia, kukatakan: “Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, keluarga pertama yang hijrah kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam?!” Kemudian aku mengucapkan doa tersebut. Maka Alloh menggantikan untukku yang lebih baik darinya yaitu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam…” (HR. Muslim)

Hal-hal yang diharamkan atas kerabat yang ditinggalkannya

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengharamkan beberapa perkara yang banyak dilakukan orang-orang ketika ditinggal mati salah seorang kerabatnya:

Larangan pertama: Melakukan niyahah, seperti yang dilakukan orang-orang jaman jahiliyah. Pada jaman itu para wanita berteriak-teriak sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan dan kebanggaan si mayit dan mengusap-usapkan tanah pada kepala-kepala mereka serta menampar-nampar wajah-wajah mereka ketika ditinggal mati salah seorang kerabatnya, tidak hanya sekedar menangis saja.

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 أربع في أمتي من أمر الجاهلية، لا يتركونهن: الفخر في الأحساب، والطعن في الأنساب، والاستسقاء بالنجوم، والنياحة. وقال: النائحة إذا لم تتب قبل موتها، تقام يوم القيامة وعليها سربال من قطران، ودرع من جرب

“Empat hal dari perkara jahiliyah yang masih dilakukan oleh umatku: membanggakan keturunan, mencela nasab, keyakinan turunnya hujan karena perbuatan bintang-bintang dan niyahah.”

Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Orang yang melakukan niyahah, jika belum bertaubat darinya sebelum matinya, maka pada hari kiamat akan dibangkitkan dalam keadaan tubuhnya penuh dengan ter dan kudis.” (HR. Muslim dan Baihaqi dari hadits Abu Malik Al-Asy’ariy rodhiyallohu ‘anhu)

Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu:

لما مات ابراهيم ابن رسول الله صلى الله عليه وسلم صاح أسامة بن زيد، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس هذا مني، وليس بصائح حق، القلب يحزن، والعين تدمع، ولا يغضب الرب

“Ketika meninggalnya Ibrohim putra Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, Usamah bin Zaid berteriak-teriak. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ini bukanlah dari jalanku, tidaklah benar orang yang berteriak itu. Hati ini memang bersedih, air mata bercucuran dan tidak boleh menyebabkan Robb kita murka.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dihasankan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz)

Larangan kedua: Menampar-nampar pipi dan merobek-robek bajunya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ليس منا من تلطم الخدود، وشق الجيوب، ودعى بدعوى الجاهلية

“Bukan dari golonganku orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyah.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Diibaratkan dalam hadits ini dengan pipi, karena itulah yang biasanya ditampar. Akan tetapi hukum ini berlaku untuk keseluruhan bagian wajah, tidak hanya pipi saja. Perbuatan ini dan merobek-robek baju merupakan pertanda bahwa orang itu tidak ridho atau menerima takdir Alloh ta’ala. Adapun makna jahiliyah adalah masa sebelum datangnya Islam yang penuh dengan kebodohan akan agama Alloh. Juga setiap yang menyelisihi ajaran Islam merupakan kejahiliyahan. (lihat Jami’ul Adillah)

Larangan ketiga: Mencukur rambut, berdasarkan hadits Abu Burdah bin Abi Musa rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata:

وجع أبو موسى وجعا فغشي عليه، ورأسه في حجر امرأة من أهله، فصاحت امرأة من أهله، فلم يستطع أن يرد عليها شيئا، فلما أفاق قال: إنا بريئ ممن برئ منه رسول الله صلى الله عليه وسلم، فان رسول الله صلى الله عليه وسلم برئ من الصالقة، والحالقة، والشاقة

“Abu Musa mengalami sakit parah sampai tidak tersadarkan diri. Sedangkan kepalanya terletak di pangkuan salah seorang istrinya. Maka berteriaklah salah seorang istrinya dan dia tidak bisa melarangnya sama sekali. Setelah ia tersadar kembali, maka ia berkata: “Sungguh aku berlepas diri dari perkara yang Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri darinya. Sungguh beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri dari orang yang berteriak ketika adanya kematian, mencukur rambut dan merobek-robek bajunya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Larangan keempat: Mengacak-acak rambut, berdasarkan hadits salah seorang wanita shohabiyah yang ikut serta dalam berbai’at kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata:

كان فيما أخذ علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في المعروف الذي أخذ علينا أن لا نعصيه فيه، وأن لا نخمش وجها ولا ندعو ويلا، ولا نشق جيبا، وأن لا ننشر شعرا

“Diantara perkara ma’ruf yang diwajibkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam atas kami adalah supaya tidak menentang beliau, tidak mencakar-cakar wajah (ketika kematian), tidak meronta-ronta dengan seruan kebinasaan, tidak merobek-robek baju dan tidak mengacak-acak rambut.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi, dishohihkan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz)

Larangan kelima: Na’iy yang terlarang, yaitu mengumum-umumkan tentang kematiannya di menara-menara dan
semisalnya. Dari Hudzaifah bin Al-Yaman rodhiyallohu ‘anhu ketika
terjadi kematian seseorang, beliau berkata:

لا تؤذنوا به أحدا ، إني أخاف أن يكون نعيا، إني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهى عن النعي

“Jangan kalian umum-umumkan kepada siapapun. Sungguh aku khawatir hal ini termasuk na’iy yang terlarang. Sungguh aku mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang dari na’iy ini.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Baihaqiy dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan. Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 31)

Makna na’iy

Na’iy secara bahasa bermakna pengabaran tentang kematian seseorang. Makna ini mencakup segala bentuk pengabaran. Akan tetapi terdapat hadits-hadits shohih yang menunjukkan bolehnya salah satu bentuk dari pengabaran. Para ulama telah memberikan batasan tentang na’iy yang terlarang, yaitu pengabaran atau pengumuman tentang kematian seseorang yang menyerupai apa yang dilakukan pada zaman jahiliyah berupa teriakan-teriakan keras di pintu-pintu rumah, pasar-pasar, menara-menara dengan menyebut-nyebut jasa-jasa serta hal-hal yang dibanggakan dari si mayit dan sebagainya.

Na’iy yang diperbolehkan

Diperbolehkan mengumumkan tentang kematian seseorang jika tidak disertai hal-hal yang menyerupai na’iy jahiliyah. Terkadang pengumuman kematian ini menjadi wajib hukumnya jika tidak ada orang yang mengurusi jenazahnya atau menjadi mustahab hukumnya untuk memperbanyak jamaah sholat jemazah dan membantu proses penguburannya. Diantara hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan akan hal ini adalah sebagai berikut:

Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu:    

 أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نعى النجاشي في اليوم الذي مات فيه، خرج إلى المصلى، فصف بهم وكبر أربعا

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah mengumumkan akan kematian Najasyiy (Raja Habasyah) pada hari kematiannya. Lalu beliau keluar menuju tempat sholat dan menyusun shof bersama para sahabat. Kemudian melakukan sholat dengan empat kali takbir (sholat ghoib).” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu:

مات إنسان كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعوده، فمات بالليل، فدفنوه ليلا، فلما أصبح أخبروه، فقال: ما منعكم أن تعلموني؟ قالوا: كان الليل فكرهنا، وكانت ظلمة أن نشق عليك فأتى قبره فصلى عليه

“Salah seorang sahabat yang sebelumnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menjenguknya telah meninggal dunia pada malam hari. Lalu mereka kuburkan malam itu juga. Ketika paginya, para sahabat baru mengabari beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau berkata: “Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?” Mereka menjawab: “Malam yang gelap, kami tidak ingin mengganggu dan memberatkan Anda.” Maka beliau mendatangi kuburannya dan melakukan sholat atasnya.” (HR. Bukhori)

Hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang keadaan para shohabat yang telah diutus dalam suatu peperangan:

  أخذ الراية زيد فأصيب، ثم أخذ جعفر فأصيب، ثم أخذها عبد الله بن رواحة فأصيب – إن عيني رسول الله صلى الله عليه وسلم لتذرفان- ثم أخذها خالد بن الوليد من غير إمرة ففتح له

“Zaid (Ibn Haritsah) memegang bendera pasukan, lalu terbunuh. Kemudian diambil alih oleh Ja’far (Ibn Abi Tholib), lalu terbunuh juga. Kemudian diambil alih oleh Abdulloh bin Rowahah, lalu terbunuh juga..” Anas berkata: “Sungguh, kedua mata Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam meneteskan air mata..” Kemudian beliau meneruskan ucapannya: “Lalu diambil alih oleh Kholid bin Walid tanpa adanya perintah dan mendapatkan kemenangan karenanya.” (HR. Bukhori, no. 1246 dengan memberikan judul sebelum hadits ini: “Bab Seseorang Yang Mengumumkan Berita Kematian Kepada Keluarga Mayit”)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh berkata: “Faedah yang dapat diambil dari bab Imam Bukhori ini adalah mengisyaratkan bahwa tidak semua bentuk na’iy itu terlarang, akan tetapi yang dilarang hanyalah seperti apa yang dilakukan pada zaman jahiliyah. Dahulu mereka mengirimkan orang-orang untuk mengumumkan tentang kematian seseorang pada pintu-pintu rumah dan pasar-pasar.” (lihat Fathul Bari: 3/116)

Disunnahkan bagi siapa yang mengumumkan untuk menghimbau manusia agar mendoakan si mayit supaya diampuni dosa-dosanya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نعى لهم النجاشي، صاحب الحبشة، في اليوم الذي مات فيه، وقال: استغفروا لأخيكم

“Bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kepada para sahabat akan kematian Najasyiy pemimpin Habasyah pada hari kematiannya dan mengatakan: “Mintakanlah ampunan untuk saudaramu itu.” (HR. Bukhori)

Juga hadits Abu Qotadah rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata:

“Rosululloh mengutus pasukan Al-Umaro’ (para pemimpin), beliau berpesan: “Taatilah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid terbunuh, maka diganti Ja’far bin Abi Tholib. Jika Ja’far terbunuh, maka diganti Abdulloh bin Rowahah Al-Anshoriy.”

Maka Ja’far melompat sambil berkata: “Wahai Rosululloh, sungguh aku tidak takut sampai engkau menjadikan Zaid sebagai pimpinanku!” Beliau menjawab: “Pergilah, sungguh engkau tidak tahu mana yang terbaik!” Maka mereka berangkat dan berlangsunglah peperangan beberapa lama. Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar dan memerintahkan sahabat untuk berkumpul dengan menyerukan: “Ash-Sholaatu jaami’ah!” Setelah berkumpul, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkhotbah:

ناب خبر، أو ثاب خبر، ألا أخبر كم عن جيشكم هذا الغازي؟ إنهم انطلقوا فلقوا العدو، فأصيب زيد شهيدا، فاستغفروا له -فاستغفر له الناس- ثم أخذ اللواء جعفر بن أبي طالب، فشد على القوم حتى قتل شهيدا، أشهد له بالشهادة، فاستغفروا له، ثم أخذ اللواء عبد الله بن رواحة، فأثبت قدميه حتى قتل شهيدا، فاستغفروا له، ثم أخذا اللواء خالد بن الوليد

“Telah datang berita, akan kukabarkan kepada kalian tentang pasukan kalian pada perang ini. Mereka telah berangkat dan bertemu musuh. Zaid terbunuh syahid, maka mintalah ampunan untuknya…!” Maka para sahabat memintakan ampunan untuknya. Lalu Nabi berkata: “Kemudian bendera pasukan diambil oleh Ja’far bin Abi Tholib dan maju menyerang musuh sampai ia terbunuh syahid. Aku bersaksi bahwa ia mati syahid, maka mintalah ampunan untuknya…! Kemudian bendera diambil alih oleh Abdulloh bin Rowahah, maka ia kokohkan kedua kakinya sampai terbunuh syahid. Mintalah ampunan untuknya…!” Kemudian datang Kholid bin Walid mengambil bendera pasukan…” Sedangkan dia bukan termasuk pimpinan pasukan, tetapi menjadikan dirinya sebagai pemimpin karena semua pimpinan telah terbunuh. Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya seraya bersabda:

اللهم هو سيف من سيوفك

“Ya Alloh, dia itu pedang dari pedang-pedang-Mu!”

Maka terjadilah kemenangan melalui tangannya. Maka sejak itulah Kholid dijuluki sebagai Saifulloh (Pedang Alloh). Kemudian beliau menyerukan:

انفروا فأمدوا إخوانكم، ولا يتخلفن أحد

“Berangkatlah kalian semua, tolonglah saudara-saudara kalian, tidak ada seorangpun yang tinggal!”

Maka berangkatlah seluruh manusia di tengah-tengah panas yang sangat terik, baik dengan jalan kaki ataupun berkendaraan.” (HR. Ahmad, Imam Al-Albaniy berkata: “Sanadnya hasan.”)

Awas bid’ah…!

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam agama ini dan setiap kebid’ahan dalam agama itu adalah sesat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma)

Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan dari perkara (ajaran) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah rodhiyallohu ‘anha)

Hadits-hadits ini menunjukkan akan haromnya melakukan kebid’ahan yang tidak ada dalil shohih dan tuntunannya dari pembawa syari’at dalam perkara agama dan tidak diterimanya amalan-amalan bid’ah tersebut di sisi Alloh ta’ala.

Dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata:

كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير، وكنت أسأل عن الشر مخافة أن يدركني

“Dahulu orang-orang menanyakan tentang kebaikan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan aku menanyakan kepada beliau tentang kejelekan karena khawatir ia akan menemuiku sehingga aku terjatuh ke dalamnya.” (HR. Bukhori)

Hadits ini menunjukkan perlunya kita untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara kejelekan berupa kemaksiatan dan kebid’ahan dalam agama ini, supaya kita dapat menghindarkan diri darinya dan tidak terjatuh ke dalamnya. Dengan demikian, kita dapat terselamatkan dari hal-hal yang dapat mendatangkan kemurkaan Alloh ta’ala dengan seizin-Nya.

Benarlah apa kata seorang penyair:

عرفت الشر لا للشر * لكن لتوقيه

ومن لا يعرف الخير * من الشر يقع فيه

“Aku mengenal kejelekan bukan untuk dilakukan, tetapi untuk dihindarkan. Siapa yang tidak mengenal serta membedakan antara kebaikan dan kejelekan, niscaya ia akan terjatuh ke dalam kejelekan itu.”

Maka perlu disampaikan di sini beberapa kebid’ahan yang sering dilakukan oleh kebanyakan manusia berkaitan dengan pengurusan jenazah, baik berupa keyakinan, ucapan ataupun perbuatan agar kita tidak terjatuh di dalamnya:

Kebid’ahan-kebid’ahan yang biasa dilakukan sebelum kematian si mayit

Bid’ah pertama: Keyakinan sebagian orang bahwa setan-setan akan mendatangi si mayit menjelang kematiannya menyerupai kedua orang tuanya yang berpakaian ala Yahudi dan Nashrani untuk menawarkan kepadanya agar keluar dari agama Islam. Ini adalah perkara yang tidak ada dalilnya.

Bid’ah kedua: Meletakkan mushhaf (kitab suci Al-Quran) di bagian kepala si mayit.

Bid’ah ketiga: Mentalqin si mayit untuk berikrar tentang Nabi dan para imam ahli bait. Ini termasuk bid’ah yang datangnya dari Syi’ah.

Bid’ah keempat: Membaca surat Yasin terhadap si mayit menjelang kematiannya. Tidak ada hadits yang shohih tentang hal ini. Adapun hadits Ma’qil bin Yasar rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اقرءوا على موتاكم يس

“Bacalah atas mayit kalian surat Yasin,” maka ini adalah hadits dho’if, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Maka amalan ini tidaklah disyariatkan, bahkan terhitung sebagai amalan bid’ah, karena amalan itu dinyatakan syar’iy jika berdasarkan dalil yang shohih baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah.

Bid’ah kelima: Menghadapkan si mayit menjelang kematiannya ke arah kiblat. Tidak ada satu dalil shohih pun yang menunjukkan hal ini. Bahkan hal ini dibenci oleh salaf, diantaranya adalah Sa’id bin Al-Musayyib rohimahulloh dengan ucapan beliau: “Bukankah si mayit itu seorang muslim?!”

Dari Zur’ah bin Abdurrohman, bahwasanya beliau pernah menjenguk Sa’id bin Al-Musayyib ketika sakit menjelang kematiannya. Di sisi beliau waktu itu adalah Abu Salamah bin Abdurrohman. Tatkala Sa’id tak sadarkan diri, maka Abu Salamah menyuruh anaknya Salamah untuk mengarahkan tempat tidur Sa’id ke arah ka’bah. Ketika Sa’id tersadar kembali, beliau berkata: “Kalian pindahkan tempat tidurku?!” Mereka menjawab: “Benar.” Maka Sa’aid melihat kepada Abu Salamah seraya berkata: “Sepertinya engkau tahu?” Lalu Abu Salamah menjawab: “Aku yang menyuruh mereka.” Maka Sa’id meminta tempat tidurnya untuk dikembalikan seperti semula. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (4/76) dengan sanad shohih dari Zur’ah. Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 11)

Adapun hadits Umair ayah Ubaid tentang penyebutan dosa-dosa besar yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i:

واستحلال البيت الحرام قبلتكم أحياء وأمواتا

“Menghalalkan bait harom (ka’bah) kiblat kalian baik ketika hidup atau mati,” maka ini adalah hadits yang dho’if, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Demikian juga makna hadits ini yang tepat adalah menghadapkan mayit ke arah kiblat ketika di liang lahatnya.

Juga hadits Abdulloh bin Abi Qotadah rodhiyallohu ‘anhu riwayat Al-Hakim dan Baihaqiy, bahwasanya Al-Barro’ bin Ma’rur meninggal dunia dan telah berwasiat yang isinya meminta untuk diarahkan ke arah kiblat ketika menjelang kematiannya adalah hadits yang dho’if dan dimungkinkan yang dimaksud oleh beliau adalah diarahkan ketika di kuburannya berdasarkan wasiat beliau. Tidaklah wasiat itu dilaksanakan, melainkan setelah meninggalnya. (lihat Fathul ‘Allam: 2/271)

Sebagian perkara bid’ah yang sering dilakukan setelah meninggalnya si mayit

Bid’ah pertama: Ucapan dan keyakinan Syi’ah bahwa tubuh anak Adam itu najis setelah kematiannya kecuali al-ma’shum, yaitu imam-imam mereka yang mereka yakini kemaksumannya, orang yang mati syahid dan orang yang wajib dihukum mati dan telah mandi sebelum dihukum mati. Tidak ada dalil shohih yang menunjukkan hal ini, bahkan sebaliknya, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ليس عليكم في غسل ميتكم غسل إذا غسلتموه، فإن ميتكم ليس بنجس، فحسبكم أن تغسلوا أيديكم

“Tidak wajib atas orang yang memandikan mayit untuk mandi setelah memandikannya. Sesungguhnya mayit kalian itu tidak najis. Cukuplah kalian mencuci tangan-tangan kalian.” (HR. Al-Hakim dan Baihaqiy dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu, dihasankan oleh Imam Al-Albaniy dalam Ahkamul Janaiz, hal. 54)

Bid’ah kedua: Mengeluarkan wanita yang sedang haidh dan nifas serta laki-laki yang junub dari sisi si mayit.

Bid’ah ketiga: Tidak mandi bagi yang menghadiri keluarnya roh mayit sampai tujuh harinya.

Bid’ah keempat: Keyakinan sebagian orang bahwa roh mayit itu bergentayangan di sekitar tempat kematiannya.

Bid’ah kelima: Menyalakan lilin di sisi mayit pada malam kematiannya sampai pagi harinya.

Bid’ah keenam: Meletakkan dahan pohon yang masih basah di dalam kamar tempat kematiannya.

Bid’ah ketujuh: Membaca Al-Quran di sisi mayit sampai proses memandikannya.

Bid’ah kedelapan: Memotong kuku si mayit dan mencukur bulu kemaluannya.

Bid’ah kesembilan: Memasukkan kapas di dubur, tenggorokan dan hidungnya.

Bid’ah kesepuluh: Meletakkan tanah pada dua mata mayit dengan mengatakan: “Tidaklah ada yang memenuhi mata anak Adam kecuali tanah.”

Bid’ah kesebelas: Keluarga si mayit tidak makan sampai selesai penguburannya.

Bid’ah kesepuluh: Selalu menangis pada waktu makan siang dan malam.

Bid’ah kesebelas: Seorang laki-laki merobek baju ketika ditinggal mati ayah dan saudaranya (madzhab Syi’ah Imamiyah)

Bid’ah kedua belas: Berkabung selama setahun atas kematiannya, tidak berhias sama sekali dan tidak memakai pakaian yang bagus selama itu.

Bid’ah ketiga belas: Memelihara jenggot dalam rangka berkabung.

Bid’ah keempat belas: Membalik tikar-tikar atausajadah dan menutup cermin-cermin dan lampu-lampu gantung.

Bid’ah kelima belas: Tidak menggunakan air yang ada di rumah, baik dalam tempayan atau lainnya, berkeyakinan bahwa air itu telah menjadi najis dikarenakan roh mayit jika melayang mencebur ke dalamnya.

Bid’ah keenam belas: Jika salah seorang bersin di depan makanan disuruh menyebut nama orang-orang yang masih hidup dengan keyakinan supaya tidak menyusul si mayit.

Bid’ah ketujuh belas: Tidak makan sayuran dan ikan selama berkabung.

Bid’ah kedelapan belas: Tidak makan daging panggang dan bakar (kebab).

Bid’ah kesembilan belas: Perkataan kelompok Sufiyah: “Jika menangisi si mayit, maka telah keluar dari jalannya ahli ma’rifat.

Bid’ah keduapuluh: Tidak mencuci pakaian si mayit sampai pada hari ketiga kematian dengan keyakinan bahwa hal itu bisa menolak adzab kubur bagi si mayit.

Bid’ah keduapuluh satu: Keyakinan sebagian orang bahwa orang yang mati pada hari Jum’at atau malam Jum’at akan mendapatkan adzab kubur selama satu jam, kemudian berhenti dan tidak diadzab kembali sampai hari kiamat.

Bid’ah keduapuluh satu: Keyakinan batil yang lainnya bahwa seorang mukmin yang bermaksiat itu terputus adzab kuburnya pada hari Jum’at atau malam Jum’at dan tidak diadzab lagi sampai hari kiamat.

Bid’ah keduapuluh dua: Keyakinan yang lebih batil lagi bahwa adzab kubur itu diangkat dari orang kafir pada hari Jum’at dan bulan Romadhon dengan kehormatan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Bid’ah keduapuluh tiga: Ucapan merekaketikamemberi kabar kematian: “Al-Fatihah untuk roh si fulan.” Ini bertentangan dengan tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas untuk memintakan ampunan bagi si mayit, bukan meminta untuk kirim Al-Fatihah.

Demikianlah bagian pertama dari pembahasan pengurusan jenazah ini. Insyaalloh pada bagian-bagian selanjutnya akan dibahas mengenai proses memandikan mayit sampai pada penguburannya disertai dengan beberapa permasalahan ta’ziyah bagi keluarga si mayit. Semoga bermanfaat dan menjadi ilmu yang bermanfaat serta bisa menghantarkan seseorang kepada amal sholeh yang berguna bagi kehidupan kita di dunia dan akherat.

Wallohu ta’ala a’lam bish-showab, walhamdulillahi Robbil ‘alamin.

Ditulis: Abu Sholeh Mushlih bin Syahid Al-Madiuniywaffaqohulloh– (Malam Senin, 20 Jumadal Akhiroh 1435H)

Pustaka: Ahkamul Janaiz, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-4 (Al-Maktabul Islamiy 1406H); Talkhis Ahkamul Janaiz, karya Imam Al-Albaniy rohimahulloh, cet. ke-3 (Maktabah Al-Ma’arif); Jami’ul Adillah wat Tarjihat fii Ahkamil Amwat, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuriy, cet. pertama (Maktabah Shon’a Al-Atsariyah), tahun 1427H; Fathul ‘Allam fii Dirosati Ahaditsi Bulughil Marom (jilid 2 Kitab Janaiz), oleh Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba’daniy, cet. pertama (Maktabah Ibnu Taimiyah 1432H). 

3 thoughts on “Hukum-Hukum Penyelenggaraan Jenazah dalam Islam (Bagian Pertama)”

  1. Bagaimana jika ada seseorang yang mendampingi mayit di sampingnya dalam keadaan sakaratul maut dan orang tersebut tidak menuntun untuk membacakan syahadat, bagaimana hukumnya? terimakasih.

    Like

    1. Mentalqin mayit dengan menuntunnya untuk mengucapkan kalimah syahadah hukumnya sunnah mustahabbah tidak wajib. Tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya ketika mendampingi mayit ketika sakarotul maut. Akan tetapi sayang jika sunnah ini ditinggalkan. Barokallohu fiik.

      Like

Tinggalkan Balasan Ash Habul Hadits